Rabu, 28 Maret 2012

AKHIR DARI KONFLIK

Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konfik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua juga mengubah pendiriannya dan mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.

Persetujuan New York
Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi dari Persetujuan New York adalah:

* Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia.
* Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.
* Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.
  UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan.
  Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Papua Barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui
1. musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua Barat
2. penetapan tanggal penentuan pendapat
3. perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak penduduk Papua untuk tetap bergabung dengan Indonesia; atau memisahkan diri dari Indonesia
4. hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standard internasional
  Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.

Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru dan pada 5 September 1963, Papua Barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka atau OPM pada 1965. Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara. Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.

Penentuan Pendapat Rakyat
Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang diatur oleh Jenderal Sarwo Edhi Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror, beberapa minggu sebelum PEPERA angkatan bersenjata Indonesia menangkap para pemimpin rakyat Papua dan mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih penggabungan dengan Indonesia.

PEPERA ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200 suara (dari 1054) untuk integrasi.Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia, namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi Papua Merdeka dan berbagai pengamat independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat, yang tidak ingin Indonesia bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Papua Barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian Jaya.

setelah penggabungan
Setelah Papua Barat digabungkan dengan Indonesia sebagai Irian Jaya, Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:

1. Papua Barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 namun masih dipegang oleh Belanda
2. Belanda berjanji menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar
3. penggabungan Papua Barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda
4. penggabungan Papua Barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua.

Hal ini diajarkan di sekolah dan ditulis dalam buku teks sejarah nasional. Setelah Jendral Soeharto menjadi Presiden Indonesia, Freeport Sulphur adalah perusahaan asing pertama yang diberi ijin tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari tahun 1981 (walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun 1972), dan kontrak ini diperpanjang pada tahun 1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan tambang Grasberg pada tahun 1988, tambang ini menjadi tambang emas terbesar di dunia. Penduduk setempat dengan bantuan Organisasi Papua Merdeka memprotes berbagai tindakan pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Freeport dan pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk peledakan pipa gas dan penculikan beberapa pegawai Freeport dari Eropa dan Indonesia pada tahun 1996. Dalam kejadian ini dua tawanan dibunuh dan sisanya dibebaskan. Pada tahun 1980-an, Indonesia memulai gerakan transmigrasi, di mana puluhan ribu orang dari pulau Jawa dan Sumatera dipindahkan ke provinsi Irian Jaya dalam jangka waktu 10 tahun. Penentang program ini mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi provinsi Irian Jaya dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat. Pada tahun 2000, presiden Abdurrahman Wahid memberi otonomi khusus kepada provinsi Papua untuk meredam usaha separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi provinsi Papua dan Irian Jaya Barat melalui instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar